top of page

Tunas Yang Muncul

Ahad kemarin saya mengikuti Pra-LKR (Latihan Kepemimpinan RISKA) di Masjid Agung Sunda Kelapa. Sedari awal berangkat saya mencoba menyiapkan diri, terutama batin dan pikiran. Terbayang sudah gambaran LKR dalam pikiran saya, karena tahun-tahun saya sekolah dan kuliah, beberapa kali mengikuti kegiatan serupa, namun dengan sebutan berbeda. Disana saya akan menjadi orang yang yang berani. Lebih bijaksana dan dewasa dalam bersikap. Menjadi problem sover. Seperti itu visualisasi pikiran saya.


Saya hadir pada saat sesi kedua, karena pada saat itu saya izin datang terlambat karena ada beberapa keperluan yang harus diselesaikan dan saya salah masuk ruangan. Hal ini disebabkan karena saya terburu-buru dan tiddak melihat tulisan didepan pintu. Yang seharusnya masuk ke ruangan tempat LKR, saya malah masuk ke ruangan sebelah tempat kelas SDTNI. Dengan percaya dirinya saya mengikuti kelas tersebut, karena saya berpikir mungkin di sesi pertama LKR ini diberikan materi soal Fiqih Solat. Kenapa saya berpikir seperti itu? Karena solat merupakan salah satu pondasi agama yang harus ditegakkan. Menjadi seorang pemimpin yang baik, tentu harus mengetahui bagaimana solat yang benar itu. Dikelas tersebut, saya bahkan aktif sekali bertanya mengenai kasus-kasus yang berhubungan dengan solat saat terjadi di lapangan. Setelah selesai, saya kemudian baru tahu bahwa saya salah masuk ruangan. Ya, dan saya hanya tertawa.


Di sesi kedua, saya baru bisa bergabung. Saat kelas itu, saya menjadi pasif. Mungkin karena materi yang disampaikan atau karena penyampaian pematerinya, atau mungkin keduanya. Yang jelas saat itu saya sangat mengantuk. Namun kemudian, saat berganti materi, saya menjadi begitu antusias. Baik dalam memerhatikan, maupun dalam fokus. Disamping materi yang disampaikan adalah mengenai manajemen, penyampainya begitu antusias, seperti menebarkan energi positif ke seluruh isi ruangan.


Ada satu hal menarik bagi saya yang menjadi pemantik untuk memacu pemikiran menjadi kreatif dan menamukan banyak ide pada saat itu. Pemateri bertanya kepada audience mengenai nilai yang ingin dicapai, namun saat itu tidak ada yang mengangkat tangan untuk mencoba menjawab. Dan bagi beliau itu sungguh sangat disayangkan. Beliau bertanya, “Apa yang membuat kalian diam saja dan tidak menjawab?”

“Takut salah”, celetuk salah satu hadirin.


“Itulah yang menjadi salah satu problem saat ini. Kalian jangan takut salah. It’s okay melakukan kesalahan. Manusia tidak ada yang sempurna kok. Bangunlah keberanian dan rasa percaya diri. Bagimana cara kita membangun semua itu? Semua itu berasal dari….”


“Hati”, celetuk salah satu hadirin yang lain.


“Dari pengetahuan dan informasi”


“Huuuuuuuu”, terdengar sorak sorai teman-teman audience lain yang ditujukan kepada orang yang menjawab dengan salah.


Begitulah kebanyakan orang. Ketika menjawab salah, rawan sekali untuk ditertawai, diteriaki, diejek. Bukan di apresiasi karena keberaniannya menjawab pertanyaan tersebut. Itulah kenapa kita kurang berkembang. Pemateri itu pun menjelaskan hal yang serupa. Saya jadi teringan tentang buku yang sedang saya baca berjudul “Pribadi Hebat” karya Hamka. Dahulu sebetulnya banyak sekali orang-orang Indonesia yang pandai dan cerdas. Pemerintah Benlanda memfasilitasi dan memberikan pengajaran yang baik. Namun, oleh pemerintah Belanda dahulu hanya diberikan angkat paling tinggi sebagai wali kota. Mereka dibatasi. Diberi gaji. Kemudian setelah tua diberi pensiunan. Maka terkadang tak heran bahwa masih banyak orang-orang yang mencari aman. Menjadi pegawai pemerintahan. Seperti itulah orang-orang terdahulu.


Saat itu, saya merasa bahwa ada seseorang yang mendukung saya. Ada di pihak saya. Sejalan dengan penjelasan-penjelasan yang diberika oleh sang pemateri, otak saya mencoba menyerap informasi sambal berpikir. Kemudian munculah banyak ide-ide dalam pikiran saya. Seolah seperti banyak suara bel berbunyi. Antusiasme saya semakin menjadi. Rasanya gembira sekali.


Mulailah kemudian pertanyaan-pertanyaan dari pemateri dijawab oleh para peserta. Setiap ada yang menjawab, kami beri tepuk tangan sebagai tanda apresiasi.


Kemudian tunas itu muncul sedikit ke permukaan.


Pertanyaannya, jadi sebenarnya apa yang membatasi diri dalam berkreasi?


Comments


bottom of page