Hilangnya Landasan Etika dalam Diri
- dam dam
- May 24, 2020
- 6 min read
Di zaman milenial ini (ada yang menyebutkan zaman 4.0) banyak informasi yang beragam dan mudah di akses oleh siapa saja selama terkoneksi dengan internet. Akses yang mudah menyebabkan tercampurnya berbagai informasi yang baik dan buruk. Sehingga masing-masing individu ikut bertanggung jawab dalam memilih dan membuka informasi.
Tidak sedikit anak-anak yang dengan mudah difasilitasi internet oleh orangtuanya dengan berbagai alasan dan tanpa pendampingan. Karena masa anak-anak memiliki perkembangan daya ingat yang tajam, maka dengan mudah pemikirannya akan terisi dengan campuran informasi. Dan kemungkinan besar informasi yang buruk dapat terakses dengan mudahnya.
Banyaknya peminat dan partisipan aplikasi sosial media, seolah menjadi tempat hidup ke-2 dalam berkativitas sehari-hari. Setiap orang diberikan kebebasan dalam berekspresi, mengemukakan pendapat, sehingga tak ada batasan lagi. Mesipun pemerintah telah menetapkan UU ITE, tapi peraturan itu nyatanya tidak mampu membendung banyaknya orang-orang yang masih bebas untuk membuat konten-konten yang tidak baik dan mendidik bahkan diantaranya melakukan bulliying di media sosial.
Tidak sedikit kata-kata kasar yang terlontar dalam ketikan kolom komentar atau status. Apalagi jika ia seorang public figur yang memiliki banyak followers, maka setiap postingannya akan selalu diawasi oleh banyak mata (netizen). Bagi seorang public figure banyak yang terbiasa ketika mendapat cacian netizen. "hal itu wajar dan resiko seorang public figure" katanya. Namun tidak sedikit pula public figure atau aktris/aktor (terkhusus yang baru terkenal) menjadi stress karena komentar-komentar netizen yang kasar. Bahkan ada yang sampai melakukan bunuh diri (kebanyakan di luar negeri).
Dari hal-hal tersebut, menandakan bahwa ada kemerosotan moral, akhlak, dan etika seseorang.
Lalu sebenarnya kenapa hal itu terjadi ?
Apakah itu karena kebebasan dalam dinia maya ?
Ataukan ada sebab lain yang lebih mendasar sehingga menyebabkan seseorang mengalami kemunduran dalam hal moral, akhlak dan etika dalam berinteraksi di kehidupan sehari-hari ?
Dalam KBBI, etika adalah ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak). Kemudian dalam sumber lain yang hal ini diambil dari jurnal Pengajian Islam, Akademi Islam, KUIS dengan judul KECELARUAN NILAI DALAM FALSAFAH ETIK yang disusun oleh Kamal Azmi Abd Rahman, Indriaty Ismail, Mohd. Nasir Omar, dijelaskan beberapa hal mengenai pengertian Etika. Berikut ini beberapa penjelasannya :
Etika berasal dari perkataan Bahasa Inggris yaitu ethics. Dalam Encyclopedia Americana (1993) dan Encyclopedia of Ethics (2001), ethics berasal daripada perkataan Yunani yaitu ethos yang bermaksud sikap atau peribadi dan ethikos yang bermaksud moral.
Oxford Dictionary of Philosophy (1996) mendefinasikan etika sebagai kajian tentang konsep yang melibatkan akal praktikal; baik, patut, tanggungjawab, kebaikan, kebebasan, rasional dan pilihan.
Di dalam Kamus Dewan (1994) pula, perkataan etika dalam Bahasa Melayu merujuk kepada ilmu berkaitan prinsip akhlak atau moral.
Manakala di dalam Bahasa Arab, falsafah etika merujuk kepada ʿilm al-akhlāq yang menjadikan khulq atau karakter sebagai subjek kajian. Ibn Manẓūr di dalam Lisān al-ʿArab menyatakan bahawa akhlāq bermaksud keperibadian semulajadi seseorang seperti watak, disposisi semulajadi, sabar, sifat akhlak, termasuk juga budaya dan agama seseorang. Karenanya dalam sejarah tradisi ilmu Islam, khulq kebiasaannya merujuk kepada suatu keadaan jiwa yang menentukan tindakan manusia.
Dari beberapa referensi diatas dapat disimpulkan bahwa etika adalah suatu ilmu yang mempelajari moral dan akhlak manusia, apakah hal-hal yang dilakukan termasuk kedalam hal baik atau hal buruk, benar atau salah, pantas atau tidak pantas dan lain-lain.
Berbicara mengena etika, jika dilihat dari tempat dan budaya akan ada perbedaan. Karena etika ini sangat berkaitan erat dengan budaya dan peradaban. Contohnya, etika di jawa akan berbeda dengan etika pada masyarakat sunda. Dan Indonesia memiliki berbagai macam suku dan budaya sehingga etika yang diberlaku di tiap tempat pun berbeda. Begitupula dengan etika antar negara yang lebih luas lagi. Budaya timur akan berbeda dengan budaya barat. Etika yang berlaku di barat akan berbeda pandangan baik dan buruknya menurut masyarakat wilayah timur.
Jika dilihat dari sisi peradaban, setiap kurun waktu yang berjalan, setiap perubahan masa, yang mempengaruhi sebuah peradaban adalah dari etika. Peradaban yang berjalan saat tahun 1900an akan berbeda etikanya dengan tahun 2000an. Meskipun perubahan itu ada yang totalitas ada juga yang sebagian. Karena hal itu juga dipengaruhi oleh perkembangan cara berfikir masyarakatnya dan pandangan mereka tentang hal baik dan buruk, pantas atau tidak pantas. Akan selalu ada perubahan untuk mencari standar yang lebih baik untuk membedakan mana yang benar dan salah, baik dan buruk, pantas atau tidak pantas.
LLebih jelasnya kita flashback kepada peradaban-peradaban pada zaman dulu. Dibawah ini adalah rangkuman dari e-book Awaiting The Lit of Gabare, yang ditulis oleh Griya Literasi Peradaban dan diterbitkan oleh Al-Funuun.
Peradaban Yunani, yang mengedepankan filsafat. Dimana para filususf dianggap sebagai penentu hukum. Sedangkan para pekerja dan petani bertugas untuk berkhidmat kepada penguasa dan tentara. Disini terlihat bahwa ada perkembangan dari cara berfikir dalam peradabannya. Namun kebengkokan mulai tampak ketika melihat sebagian konsep-konsep yang dikemukakan oleh para tokoh filusufnya. Seperti halnya dalam konsep Plato yang menerangkan bahwa orang sakit harus diusir dan dikucilkan dari perkotaan. Kemudian Aristoteles yang menyatakan bahwa hukum ditentukan oleh orang-orang yang memiliki kedudukan tinggi. Sementara yang lain dijadikan sebagai budak. Menurut Will Durant dalam buku The History of Civilization menuturkan bahwa peradaban Yunani bukanlah contoh peradaban yang baik dalam sisi akhlak. Karena ketiddakpedulian terhadap sesama contohnya disaat kondisi kekeringan, mereka dengan mudahnya membunuh anak-anak dengan alasan untuk meringankan biaya hidup. Sehingga tiada rasa simpati terhadap sesama manusia. Kemudian halalnya hubungan sex yang tanpa batas. Dan hal ini diakibatkan oleh pendewaan terhadap akal mereka.
Peradaban India yang berdiri sejak tahun 1003 SM. Menurut Abu Hasan an-Nadawi, Wakil dari Perkumpulan Ulama India, bahwa para sejarawan bersepakat pada abad ke 6 SM, konflik-konflik yang terjadi di India pada saat itu diakibatkan oleh adanya kasta-kasta yang berlaku. Kasta tertinggi dipegang oleh kasta Brahma yang terdiri dari tukang sihir dan ahli agama. Kasta Brahma inilah yang mengatur dan menetapkan perundang-udangan yang berlaku bagi masyarakat sampai pada tingkat dibawahnya. Kasta-kasta yang berada dibawahnya ini antara lain berurutan adalah Ksatria (ahli perang), waisa (petani dan pedagang), dan Sudra (budak). Orang-orang yang berada di kasta Sudra bahakan disamaratakan kedudukannya dengan hewan. Bahkan wanita boleh dijadikan taruhan untuk judi saat seorang lelaki mengalami kebangkrutan. Kenapa kasta Brahma menjadi kasta tertinggi ? Karena mereka dianggap sebagai barisan Tuhan dan Raja bagi semua makhluk di dunia.
Peradaban Persia yang memberlakukan perkawinan bebas, bahkan kita boleh menikahi seseorang yang merupakan bagian dari keluarga kita sendiri. Hal ini terjadi pada saat dinasti Sassanid, dimana orang-orang bebas melampiaskan syahwatnya. Sehingga mengakibatkan ketidakjelasan nasab dan keturunan. Tersebab hal itu, Mani kemudian mengharamkan pernikahan dan memutus keturunan. Namun akhirnya dia di eksekusi oleh Raja Persia di tahun 276 M. Selain Mani, ada Mazdak yang menganggap bahwa manusia itu dianggap sama dalam hak kepemilikan harta dan wanita. Hal ini didukung Raja Persia, sehingga mereka kembali dengan bebas melakukan apasaja dalam memuaskan hawa nafsunya.
Peradaban Romawi. Pada masa itu kekuasaan berada dibawah kendali Gereja. Aturan-aturan pun diterapkan oleh para Pendeta. Kemudian tafsiran-tafsiran kitab suci tidak boleh ditafsirkan oleh sembarang orang, dan hanya pihak gereja-gereja yang boleh menafsirkannya. Selain itu maka dianggap keliru dan tidak boleh dijadikan pedoman. Pihak gereja dianggap sebagai penjelmaan Tuhan dimuka bumi sehingga berhak menghukum siapa saja yang menentang mereka. Mereka juga menolak dengan keras adanya pemikiran unsur ilmu/ sebab-akibat. Seperti ilmu matematika, kedokteran dan astronomu karena dianggap sebagai hal baru yang menyimpang dan diluar keyakinan.
Dari ke empat peradaban diatas, kebanyakan mereka menetapkan sesuatu hanya menggunakan rasio akal dan nafsu. Sehingga konsep benar dan salah menjadi sesuatu hal yang relatif jika kita menariknya ke masa sekarang yang telah mengalami perubahan beberapa masa. Hal ini sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Prof. Syed Muhammad Naquib Al Attas yang saya kutip dari Jurnal Pemikiran Islam TASFIYAH berjudul Konsep Kebenaran dalam Perspektif Islam dan Barat yang disusun oleh Dedy Irawan dan Ridani Faulika Permana dari Universitas Darussalam Gontor (UNIDA). Dalam Jurnal tersebut ditulis bahwa pernyataan Prof Al Attas mengenai konsep kebenaran yang diukur berdasarkan rasio dan spekulasi manusia maka tidak akan ada yang tetap dan akan berubah terus-menerus sekalipun itu ilmu pengetahuan ataupun etika moral.
Karena itu, jika tolak ukurnya hanya berdasarkan pemikiran/akal manusia, maka hasilnya akan objektif daan tidak sesuai dengan kebenaran yang sesungguhnya. Maka manusia hanya akan menjadi makhluk yang rasional dan sekuler. Konsep seperti itulah yang sampai sekarang ini dipertahankan di Barat. Dan menjadi cara pandang hidup masyarakat Barat.
Sedangkan Islam sudah memiliki ketentuan tentang benar dan salah yang disebut Haqq dan bathil. Karena hukum Islam berlandaskan Ketuhanan. Telah ditentukan oleh Tuhan yaitu Allah swt, yang disampaikan kepada Rasul UtusanNya berupa Wahyu. Cara pandang itulah yang menjadi landasan Etika yang diatur dalam Islam, dari dulu hingga sekarang dasar-dasarnya tidak mengalami perubahan sampai akhir zaman. Dan inilah yang disebut dengan etika universal.
Etika universal adalah etika yang mempunyai suatu landasan yang kukuh. Tidak hanya sebatas hasil dari olah pemikiran dan rasa yang berdasarkan pengalaman indrawi manusia. Karena hal itu terbukti rapuh dan pasti akan selalu menuai kritikan. Berbeda jika Etika ini memiliki landasan yang berasal dari Wahyu Tuhan. Etika sekaligus menjadi sebuah aturan yang mutlak dan tanpa cacat. Karena aturan itu langsung bersumber dari Sang Pencipta kita, Allah subhanahu wata'ala. Disampaikan para Nabi dan Rasul yang tidak hanya sebagai penyampai Risalah tetapi juga sebagai teladan bagi ummat.
Islam memiliki panduan etikanya yang berasal dari Allah, diturunkan oleh malaikat jibril kepada Rasulullah Muhammad saw yang bersumber dari Al-Qur'an dan akhlak dari Rasulullah yang disebut sebagai Sunnah. Sunnah Rasulullah ini menjadi panduan implementasi akhlak dalam menjalankan apa-apa yang diatur oleh Allah dalam Al Qur'an. Disana Setiap tindakan dan perilaku manusia telah diatur. Dari mulai bangun tidur samapai tidur, sampai kemudian bangun lagi.
Nah, Dari banyaknya kasus yang teradi di internet dan khususnya media sosial dapat disimpulkan bahwa hal-hal tersebut terjadi sebab karena tidak adanya pegangan yang kukuh mengenai konsep etika yang dipakai seperti apa. Landasan etika yang digunakan menggunakan yang mana, ini juga masih belum jelas. Namun satu hal pasti bahwa kecelaruan yang terjadi adalah diluar dari prinsip atau cara pandang etika Islam. Karena setiap tindakan tidak melibatkan lagi adanya unsur Ketuhanan.
Tanggerang, 10 Mei 2020
Ditulis oleh,
Tim Riset ITJ Jakarta,
Eka Damia.
Comments