Dialog Diri
- dam dam
- Sep 15, 2020
- 1 min read
Updated: Feb 9, 2022
Ada harap yang dibiarkan diam-diam. Namun terbatasi oleh prinsip yang dikalungkan. Atau mungkin saja itu ego yang tak terkalahkan. Atau rasa pengecut yang terlalu besar. Apapun itu, nyatanya segala perasaan-perasaan ini benar nyata. Keinginan yang mencoba melawan batas memang menyakitkan. Pikirku tak mengapa. Toh ini hanya dunia. Tapi ada suara-suara yang ingin bisa didengar olehnya. Dan akan berhenti jika benar nyata dia tidak memiliki harapan yang sama. Ya, semudah itu bisa berhenti.
Mencoba memalingkan bahwa ada perasaan yang seharusnya diharapkan dan dipupuk lebih kuat. Perasaan untuk keluarga, cita-cita, dan tugas di bumi Allah. Padahal hanya sepersekian detik melintas dihadapan, namun dampaknya menyebar menguasai seluruh pemikiran. Berkali-kali kembali dibersihkan. Walau tetap menimbulkan bekas, namun setidaknya tidak terlalu pekat.
Satu hal yang ingin ditanyakan. Pertanyaan yang bisa merubah semuanya. Satu pertanyaan akan membuka seribu jawaban lain. Apakah ada kita dalam tujuanmu? itu saja. Tapi jika dipikirkan kembali, apakah benar begitu? Apakah seperti itu?
Bukankah yang memgang takdir adalah Allah? Tanpa persetujuanNya, jawaban apapun akan tetap sama. Finalisasi hanya dipegang oleh Allah. Maka pertanyaan itu tidak terlalu penting untuk ditanyakan. Jadi hentikan saja mengajukan pertanyaan bodoh itu.
Ya, selama masih ada alasan logis dan kuat. Nampaknya semua itu hanyalah imajinasi dan keinginan sesaat. Bukan terkekang, namun hal itu lebih menjaga. Apalagi bagi seorang wanita. Mungkin itu yang terbaik saat ini. Menyimpan rasa lagi. Berulang kali. Mungkin karena masih remidi. Usaha agar singgasana hati tetap dimiliki oleh pemilik sejati. Allah, Illahi Robbi. Pencipta Alam Semesta ini.
Maka, bersabar lagi. Hingga nanti muncul seseorang yang sejati. Mendampingi dalam keta'atan kepada Allah. Bersama-sama menggapai ridho-Nya.
Comments