top of page

Dangkal

Semakin dewasa, semakin banyak hal yang terpikirkan. Terlalu banyak pikiran-pikiran baru yang hadir serempak. Banyak hal penting yang ternyata harus didahulukan. Bukan lagi tentang prioritas diri yang dipikirkan, tetapi juga tentang orang lain yang telah memiliki ikatan dengan kita. Itu kenapa dulu begitu ingin menjadi anak kecil. Karena sederhananya pemikiran sehingga tak perlu banyak memikirkan hal-hal rumit. Bahkan dalam berhubungan pun sederhana. Sesederhana ketika kamu bertengkar dengan teman-temanmu hari ini kemudian besoknya bisa bermain kembali dengan ceria. Tak terlalu rumit memikirkan perasaan yang sering kali membuat pusing kepala bahkan bisa sampai stress. Anak-anak memang begitu sederhana. Sederhana dalam marah. Sederhana pula dibuat kembali ceria dan tertawa. Meski terkadang hal itu adalah salah satu yang membuat orang dewasa pusing kepala.


Semakin dewasa, semakin banyak hal pula yang dilihat dan didengar. Dari lingkungan, sosial media, film, belajar, membaca dan banyak lagi. Tak sadar hal itu menjadi bagian dari referensi apa yang dipikirkan untuk menentukan segala keputusan dan hal-hal baru lain yang sebelumnya tak pernah terpikirkan dan rasakan.


Salah satu hal diantaranya adalah ketika menonton sebuah drama untuk kesekian kalinya. Ada hal yang sebelumnya tak pernah terpikirkan bahkan tak dirasakan sebelumnya. Dimana dalam drama tersebut, seorang anak perempuan pertama yang berusaha keras untuk selalu terlihat baik dengan prestasi-prestasi yang berusaha ia raih. Meski begitu ia bingung akan mimpinya. Ia pun selalu melakukan semua hal sendiri. Sepertinya ia tak mudah untuk mendapatkan teman dekat/ sahabat. Hingga saat kuliah hanya 2 orang sahabat yang ia punya. Ia juga menjadi salah-satu kaki bagi kehidupan keluarganya.


Setelah beberapa kali mengamati drama ini, baru mulai hadir suatu rasa baru. Selama ini tokoh perempuan itu berusaha keras hanya untuk bisa membuat orang tuanya bangga. Namun suatu hari, ada hal yang tak bisa ia terima. Saat dimana sang Ayah menyuruhnya berhenti kuliah dan fokus kerja untuk membiayai adik laki-lakinya kuliah kembali. Karena kuliahnya di US berantakan dan memang karena itu paksaan. Pendapat orang tua yang lebih mengedepankan anak laki-laki karena nantinya ia akan menadi tulang punggung keluarga (yang sejujurnya disini sang ayah berkaca kepada dirinya sendiri). Padahal kakaknya berkuliah dengan beasiswa. Dan selama ini ia berusaha hidup dan membantu orangtua sambil bekerja. Namun sama sekali tokoh yang menjadi kakak perempuan ini tidak pernah dilihat, tidak merasa diutamakan, dan belum pernah dipuji oleh orang-tuanya. Seolah tak ada tempat bersandar. Ia hanya berdiri sendirian. Hal inilah yang membuatnya tidak terima atas keputusan orang tuanya.


Jika ada seorang anak yang memiliki kasus yang sama atau mungkin mirip, ia akan bisa merasakan juga. Hingga kemudia tanpa sadar menyalahkan orang tua. Dan akhirnya tidak menerima atas perlakuan yang selama ini ia terima.


Namun nyatanya jika diingat kembali, bukankan jasa kedua orang tua sama sekali tak akan bisa terbalaskan oleh anak sampai kapanpun juga? Bahkan banyaknya hal yang kita sebagai anak berikan belum tentu bisa mengganti setetes keringat yang orangtua keluarkan untuk anaknya.


Orang tua akan selalu punya cara yang berbeda dalam memberikan kasih sayangnya terhadap anak. Hanya saja terkadang, anak-anak belum mengerti dan tak bisa membacanya. Karena ia hanya bisa berkaca terhadap apa yang ia lihat untuk membandingkan. Bahwa seperti merekalah keluarga yang bahagia. Keluarga sesungguhnya. Padahal itu hanya karena terlalu banyak hal yang disembunyikan orang tua. Terlalu banyak hal yang nyatanya tidak diketahui.


Cobalah berusaha untuk mengingat lagi. Hal-hal yang pernah dilakukan orang tua untuk anaknya. Sekecil apapun. Sesederhana apapun. Saat dimana mungkin orang tua pernah menjemput kita sepulang sekolah atau kursus meskipun saat itu tengah hujan deras. Membelikan jajanan dipinggir jalan. Atau sekedar memenuhi permintaan-permintaan kita yang sebenarnya tidak begitu penting tetapi orangtua menganggapnya lebih penting diatas hal lain. Juga nikmat-nikmat lain yang kita rasakan. Hal-hal itu yang justru menjadi penawar bagi rasa kecewa yang mungkin hadir. Melapangkan hati yang sebeumnya terasa sempit. Menenagkan pikiran yang sebelumnya kalut dan dibuat bingung.


Begitu awam kita jika dibandingkan dengan orang tua kita sendiri. Dan sebagai orang yang mungkin baru saja menginjakkan kaki di dunia kedewasaan, kita merasa seolah menjadi seorang yang lebih tau akan banyak hal untuk cukup membuat sebuah kesimpulan sederhana yang ternyata dangkal.

Comments


bottom of page