Ghazwul Fikri: Perang Pemikiran dalam Perspektif Islam Modern
- dam dam
- Feb 19
- 4 min read
Ghazwul fikri atau perang pemikiran (yang selanjutnya akan disingkat GF) merupakan istilah yang sering digunakan dalam wacana Islam untuk menggambarkan upaya dari pihak-pihak luar untuk mempengaruhi, melemahkan, bahkan merusak pemikiran dan nilai-nilai Islam. Yang seringkali dibahas mengenai GF ini adalah serangan-serangan ideologis serta budaya untuk merubah cara berpikir umat Islam agar jauh dari syari’at Islam. Beberapa sarana yang digunakan GF ini dilakukan melalui Media, Pendidikan, dan Budaya (lifestyle).
GF pertama dilakukan oleh Iblis kepada Nabi Adam as karena kesombongan. Karena itulah Iblis dihukum oleh Allah SWT. Kemudian Iblis menyesatkan Nabi Adam as dan Hawa dengan cara menyesatkan pemikirannya dengan keterangan palsu untuk menggoyahkan keduanya, mengalihkan perhatiannya dari larangan Allah SWT. Dengan cara-cara kepalsuan itulah Iblis menggelincirkan Nabi Adam as dan Hawa. Tidak sampai disitu, proyek Iblis ini melibatkan sebagian besar manusia dari yang pertama diciptakan sampai yang terakhir dilahirkan. Iblis berusaha menjadikan mereka memandang baik perbuatan-perbuatan maksiat agar manusia ikut tersesat bersamanya (Islam Liberal 101, Akmal Sjafril).
Sampai saat ini proyek iblis masih berjalan, hanya bentuk dan medianya saja yang berbeda di setiap zaman. Zaman Nabi Sulaiman a.s diuji dengan sihir-sihir, Nabi Luth dan penduduknya diuji dengan perilaku penyimpangan homoseks dan lesbian, Nabi Ibrahim diuji dengan penyesatan penduduk yang menyembah berhala-berhala, Nabi Muhammad diuji dengan kejahiliyahan perilaku masyarakatnya. Lalu zaman modern, bentuknya makin beragam, contohnya sekularisasi, liberalisasi, dan pluralisasi, adalah paham-paham yang menjauhkan umat Islam dari ajaran agamanya sendiri. Lalu dengan adanya globalisasi informasi dan media, nilai-nilai itu menyebar dengan cepat dan meluas melalui internet, terutama dikalangan generasi muda yang lebih mudah terpapar melalui media sosial.
Dampak dari GF sangat luas dan mencakup berbagai aspek kehidupan. Salah satu dampak yang paling nyata adalah perubahan dalam cara berpikir dan bertindak yang semakin menjauh dari nilai-nilai Islam. Menurut Prof. Syed Muhammad Naquib al Attas, pusat krisis yang dialami oleh umat muslim di seluruh dunia ini adalah loss of adab. Dalam wawancaranya dengan Hamza Yusuf yang bisa ditemukan di channel youtube, Prof. al Attas mendefinisikan adab sebagai berikut
“Adab is a reflection of wisdom, because this comes from the knowledge of the prophet. It is not something you get from universities or even from knowledge, because people sometimes have knowledge but have no adab. It is acting in conformity with justice”.
Lost of adab ini terjadi karena rusaknya ilmu yang disebarkan oleh peradaban Barat. Menurut Prof. al Attas Knowledge yang disebarkan oleh Barat itu pada hakikatnya menjadi problematik, karena kehilangan tujuan yang benar, dan lebih menimbulkan kekacauan dalam kehidupan manusia daripada membawa perdamaian dan keadilan; knowledge yang seolah-olah benar, padahal memproduksi kekacauan dan skeptisisme (Mengenal Sosok dan Pemikiran Syed Muhammad Naquib Al Attas dan Wan Mohd Nor Wan Daud, Dr. Adian Husaini).
Selain itu, termasuk didalamnya pemikiran politik di dunia Islam juga ikut terpengaruh. Banyak negara muslim yang mengadopsi sistem politik dan ekonomi Barat tanpa mempertimbangkan kesesuaiannya dengan nilai-nilai Islam. Akibatnya kebijakan-kebijakan yang dibuat sangat berpengaruh kepada kehidupan masyarakatnya. Seperti kasus yang baru-baru ini terjadi tentang “aturan lepas jilbab bagi Paskibraka” yang dikemukakan oleh Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) dalam Keputusan BPIP Nomor 35 Tahun 2024 tentang Standar Pakaian, Atribut dan Sikap Tampang Pasukan Pengibar Bendera Pusaka. Berita tersebut akhirnya menjadi viral dan banyak suara yang menentang keputusan tersebut, termasuk salah satu organisasi islam Nahdatul Ulama (NU) (www.bbc.com, Kontroversi di balik 'aturan lepas jilbab' Paskibraka - 'Tidak cukup minta maaf, perlu ditelusuri kenapa bisa terjadi').
Disinilah pentingnya peran pemerintah dalam mengatur dan mencegah timbulnya kasus-kasus yang serupa. Peran NU disini-pun hanya sebagai pemberi pendapat, anjuran, dan tidak bisa membuat peraturan untuk Negara. Karena sistem politik yang digunakan saat ini adalah sistem Demokrasi yang mana hasil adopsi dari pemikiran Barat. Sedangkan jumlah penduduk Indonesia yang beragama Islam ada 87,08% atau sekitar 245.973.915 jiwa. (databoks.katadata.co.id).
Menghadapi tantangan GF, umat Islam perlu mengembangkan respons yang efektif untuk mempertahankan dan memperkuat identitas keislamannya. Salah satu strategi yang dapat dilakukan adalah dengan memperkuat pendidikan Islam yang tidak hanya mengajarkan ilmu pengetahuan, tetapi juga menanamkan nilai-nilai Islam secara mendalam. Pendidikan yang berbasis pada nilai-nilai Islam akan membantu generasi muda Muslim untuk mengembangkan kemampuan kritis dalam menyaring informasi dan budaya yang datang dari luar. Karena itu program yang dirancang dan sedang dijalankan oleh Prof. al Attas ini adalah Islamization of Knowledge (Islamisasi Ilmu), yang didefinisikan sebagai : (Mengenal Sosok dan Pemikiran Syed Muhammad Naquib Al Attas dan Wan Mohd Nor Wan Daud, Dr. Adian Husaini).
“…membebaskan manusia pertama-tamanya dari tradisi magis, mitos, animistik kultur sosial, lalu membebaskan dari jeratan sekular yang membelenggu akal dan bahasanya. Orang Islam adalah orang yang akal dan bahasanya tidak lagi dikontrol oleh magis, mitos, animisme dan tradisi nasionalisme dan kulturalnya. Inilah perbedaan Islam dan sekularisme… Ia juga membebaskan dari ketundukpatuhan terhadap tuntutan fisik yang condong kepada sekularisme dan ketidakadilan (dan mengabaikan) kebenaran jiwanya, manusia secara fisik condong kepada kelupaan terhadap alam sejatinya, mengabaikan tujuan hakikatnya dan berlaku tidak adil padanya” (Islam and Secularism, Syed Muhammad Naquib al Attas)
Selain itu di tengah pesatnya perkembangan teknologi, media sosial dan platform digital dapat dimanfaatkan sebagai alat untuk melawan GF dengan menyebarkan konten-konten positif yang sesuai dengan nilai-nilai Islam, serta memberikan klarifikasi terhadap isu-isu yang dapat menyesatkan. Dakwah di media sosial dapat menjadi salah satu bentuk respons aktif dalam menghadapi GF. Hal ini telah dibuktikan dengan viralnya kasus “aturan lepas jilbab Paskibraka” yang mendapatkan respon perlawanan dari banyak pengguna media sosial sehingga aturan ini dicabut kembali oleh pihak BPIP.
GF merupakan tantangan besar bagi umat Islam di era modern ini. Invasi pemikiran yang datang dari luar tidak hanya mengancam identitas keislaman, tetapi juga dapat mengubah cara berpikir dan bertindak umat Islam secara mendasar. Untuk itu, perlu adanya kesadaran kolektif dan upaya terorganisir untuk melawan GF melalui pendidikan yang kuat, pemanfaatan media yang tepat, dan pengembangan pemikiran kritis. Dengan demikian, umat Islam dapat tetap teguh pada nilai-nilai Islam yang sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah.
Comentarios