top of page

Asing dan Terasing

Dewasa ini, dimana teknologi berkembang dengan pesat, khususnya dalam mengirimkan dan mendapatkan suatu informasi yang aksesnya mudah dan cepat. Dunia maya menjadi tempat termudah dalam mengaksesnya. Ia menjadi tempat lain dimana kita hidup secara virtual. Setidaknya. Karena setiap hari, hampir semua kita berinteraksi disana. Meski tidak selama 24 jam (meski beberapa orang ada yang melakukannya). Ia menjadi bagian dari kehidupan kita. Yang mana bisa menjadi representasi atas diri kita, meski sebenarnya tidak juga. Hanya saja percakapan-percakapan atau informasi disana sedikit bisa merepresentasikan keadaan dan beberapa sikap yang diwakilkan. 


Awalnya hanya sedikit dari beberapa yang berani berbicara disana. Lama-lama, mereka mulai merasa memiliki sedikit kebebasan dalam mengekspresikan. Kemudian tak lama, banyak orang mengikuti dan terbiasa karenanya. Ya, lagipula, identitas mereka bisa disamarkan atau dipalsukan. Sehingga orang terdekat sekalipun bisa tidak mengenalinya. Ketika emosi-emosi itu mulai berani tampil di dunia maya, lambat laun kemudian ia bisa menjelma di dunia nyata melalui sosok manusia. Tak jarang ketidakstabilan emosi kerap terjadi hanya karena beberapa hal sederhana yang tidak sesuai dengan ekspektasi atau harapan. Hal ini mungkin tak banyak terjadi pada orang dewasa yang sudah memiliki pemikiran yang cukup matang untuk bisa menyesuaikan berdampingan dengan lingkungannya. Pertanyaannya, bagaimana jika ia menjangkiti manusia-manusia muda yang bahkan baru saja bertunas? 


Kecanduan main game, anak-anak yang merusak seluruh perabotan rumah karena meronta tak diberikan handphone, gangguan syaraf mata anak akibat terus menerus menatap layar gadget, hamilnya anak-anak perempuan di sebuah sekolah menengah, percakapan-percakapan mesum anak-anak belia, Pembunuhan yang dilakukan oleh anak pejabat pemerintah, dan lain-lain. Silakan searching sendiri di Internet. 

Jika ingin merusak sebuah negara, maka rusak dulu akhlak generasinya. Sebuah kutipan dari Imam Mawardi dalam bukunya berjudul Adabud Dunya wad Din. Meski belum pernah membacanya, tapi saya mendengarnya dari beberapa Guru ketika menyampaikan ceramah. mungkin belum banyak orang menyadarinya. Tapi ada pihak-pihak yang tak senang jika generasi Adam khususnya umat Islam ini maju. Sebuah nama yang terpikirkan saat ini, dan pasti benar, penyebab tanda-tanda kerusakan ini, adalah Iblis dan pengikutnya. Mereka berkonspirasi dalam menyesatkan manusia dengan cara misinformation. Mulai dari pemujaan kepada Tuhan yang salah, atau dengan cara yang salah, menghilangkan keberadaan Tuhan dalam diri manusia, atau menjadikan dirinya sendiri seolah-olah seperti Tuhan yang berhak melakukan apapun terhadap dirinya sesuai dengan keinginannya (syahwatnya). Ada sebuah tulisan yang menarik perhatian saya. Tulisan itu ditemukan di media sosial 'X' dengan akun @islimicize, tentang gambaran bagaimana muslim saat ini melawan sebuah dosa serta pandangannya di zaman modern ini.


In the life of this world, one of the main battles of a Muslim is his struggle with sins. Traditionally, sins have been understood as an anomaly happening amid a holistic and sound soul, a soul that momentarily is overtaken by either desires of the nafs or pressures of society or anything else. The result is a temporary dissent against the established order of Islam within the Muslim himself and depending on the sin could be a dissent against his environment and those within it (murder, corruption, etc). However, I propose that in the modern world that is no longer the case and the fact of the matter is that sins are not a simple rare occurrence amongst the plethora of good actions, it is no longer a drop of poison in the sea of purity. It is the manifestation of an underlying self, implanted in the Muslim by modernity, the “sin” is not a dissent anymore against an established order because the established order itself has been replaced. The sin adheres to exactly what the newly established self dictates. What would be an anomaly, in this case, would be for this sin-driven self to instead incline towards NOT sinning, to indulge in the halal, to maintain righteousness.

A process of cognitive restructuring is underway in our time. Manifestations of a global “freedom” proliferates and inserts itself in the social mind. The “freed” body and “freed” mind are penetrated by the psychology of the overall “free” world. The default is no longer the Muslim resisting the sins, it is the “free” self-resisting the Muslim-ness. In such times it becomes exponentially imperative to avoid sins because they are no longer an action within a vacuum, but glimpses of what our selves are slowly becoming. Resisting sin in the modern world therefore is a question of a metaphysical nature, in resisting sin we resist a paradigm, we transcend what the hypnotic age of our time is desperately molding us into. We resist the new normal.

This is perhaps why Anas ibn Malik reported: The Messenger of Allah, peace and blessings be upon him, said, “A time of patience will come to people in which adhering to one’s religion is like grasping a hot coal.” Because perhaps it’s not just the inability to hold something hot, but the inability of the body to reason why you should clasp your hand around the coal in the first place. —Islamicize


Potongan menariknya ada di paragraf terakhir, yang jika diterjemahkan seperti ini:

Mungkin inilah mengapa Anas ibn Malik meriwayatkan: Rasulullah, semoga damai dan berkah besertanya, bersabda, “Akan datang masa kesabaran kepada orang-orang di mana berpegang teguh pada agamanya seperti memegang bara panas.” Karena mungkin ini bukan hanya ketidakmampuan untuk memegang sesuatu yang panas, tetapi ketidakmampuan tubuh untuk berpikir mengapa Kamu harus menggenggam bara tersebut sejak awal.


Nafas Islam lebih sering di tampakkan dalam forum-forum keislaman saja. Bila sudah diluar, di tempat umum – seperti kantor, pasar, mall, caffee, tempat-tempat olahraga – identitas muslimnya seolah terlepas. Nafas keislaman yang melekat hilang, sehingga batas-batas aturan islam pun dilampauinya. Transaksi terbelit riba, ketidakjujuran penjualan, pakaian yang tak lagi sesuai syariat, cairnya pergaulan perempuan dan laki-laki atas nama pertemanan dan saling menghargai namun batasan sikap kepada laki-laki atau perempuan tiada berbeda. Jika sedikit kita menunjukkan bagaimana seharusnya muslim bersikap, mereka cenderung merasa asing, seolah kita mengeksklusifkan diri, tak bisa bergaul dan beradaptasi dengan lingkungan. Bahkan mungkin kamu pernah mendengar perkataan ini “jadi orang itu jangan terlalu baik” atau “jangan kaku-kaku banget lah jadi orang”. Baik seolah menjadi hal asing dan langka di tengah-tengah mereka. Kekakuan sikap kita, atau mungkin lebih tepatnya batasan yang diterapkan sebagai implementasi dari nilai keislaman yang dipegang menjadi masalah.


Masih muda seharusnya lebih bebas, katanya. Waktunya banyak mencoba, menikmati ini dan itu, sehingga halal dan haram tak lagi berbeda. Jika belum mencoba, kamu belum disebut gaul katanya, bahkan disebut cupu. Hati pemuda mana yang tak tersulut melihat sekitarnya banyak yang melakukan, hanya dia sendiri yang berbeda, meski awalnya merasa tidak nyaman. Ada rasa keingintahuan yang muncul dalam jiwa mudanya, rasa ego yang dibalut nafsunya, sekaligus ketidaknyamanan yang muncul dari fitrah dalam dirinya dipaksa untuk tunduk oleh tatanan sosial yang asing dari nilai Islam. 


Jika kita terlihat melaksanakan puasa wajib, tepat waktu/melaksanakan sholat wajib, sudah disebut alim. Padahal itulah kewajibannya, dan seharusnya itu adalah hal yang biasa karena sebagai seorang muslim sudah sepatutnya dilakukan. Maka jika ada seorang muslim yang merasa terasing karena memegang teguh nilai-nilai keislamannya, berbahagialah. Seperti hadist yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Rasulullah saw bersabda: Islam datang dalam keadaan yang asing, akan kembali pula dalam keadaan asing. Sungguh beruntunglah orang yang asing.

Comments


bottom of page